Selasa, 19 Mei 2015

Mengapa Wajah Nabi Muhammad SAW Tidak Boleh Dilukis


Saat Nabi Muhammad SAW hidup, tidak ada seorang pun yang pernah melukis wajahnya, dan juga kamera foto belum lagi ditemukan.
 
Jadi itulah sebenarnya duduk masalahnya. Dan dengan masalah itu sebenarnya kita harus bangga.
 
Sebab keharaman menggambar wajah nabi SAW justru merupakan bukti otentik betapa Islam sangat menjaga ashalah (originalitas) sumber ajarannya.
 
Larangan melukis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait dengan keharusan menjaga kemurnian ‘aqidah kaum muslimin.
 
Sebagaimana sejarah permulaan timbulnya paganisme atau penyembahan kepada berhala adalah dibuatnya lukisan orang-orang sholih, yaitu Wadd, Suwa’, Yaguts, Ya’uq dan Nasr oleh kaum Nabi Nuh ‘alaihis salam.


Memang pada awal kejadian, lukisan tersebut hanya sekedar digunakan untuk mengenang kesholihan mereka dan belum disembah.
 
Tetapi setelah generasi ini musnah, muncul generasi berikutnya yang tidak mengerti tentang maksud dari generasi sebelumnya membuat gambar-gambar tersebut, kemudian syetan menggoda mereka agar menyembah gambar-gambar dan patung-patung orang sholih tersebut.
 
Melukis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dilarang karena bisa membuka pintu paganisme atau berhalaisme baru, padahal Islam adalah agama yang paling anti dengan berhala.
 
Demikian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela kelakuan orang-orang ahli kitab yang mengkultuskan orang-orang sholih mereka dengan membuat gambar-gambarny a agar dikagumi lalu dipuja.
 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menyerupai mereka : “Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud) Dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Janganlah kalian menyanjungku berlebihan sebagaimana orang-orang Nashrani menyanjung Putera Maryam, karena aku hanya hamba-Nya dan Rasul utusan-Nya.” (HR. Ahmad dan Al-Bukhori)
 
Itulah sebab utama kenapa Umat Islam dilarang melukis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu dalam rangka menjaga kemurnian ‘aqidah tauhid. Wallahu 'alam


sumber : http://www.lampuislam.blogspot.com/2013/08/kenapa-nabi-muhammad-saw-tidak-boleh.html

Hukum Ganti Nama dalam Islam

Para fuqaha sepakat makruh hukumnya menamai anak dengan nama yang artinya tidak baik atau tidak disukai oleh fitrah yang sehat. Misal Harb (perang), Murrah (pahit), Dhiraar (membahayakan orang lain), Hazam (sesak napas), Kulaib (anjing kecil), Himaar (keledai), Hanzhalah (sejenis tumbuhan yang buahnya pahit), Syihaab(meteor), Hazan (kesedihan), dan sebagainya. (Imam Nawawi, Al Adzkar An Nawawiyyah, hlm. 247; Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, Tuhfatul Maudud bi Ahkam Al Maulud, hlm. 76; Asma` Muhammad Thalib, Ahkamul Maulud fi Al Fiqh Al Islami, hlm. 360; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 11/334).
Dalil kemakruhannya antara lain bahwa Rasulullah SAW tak menyukai nama-nama yang buruk, baik nama orang, tempat, kabilah (suku), maupun nama gunung. Imam Malik meriwayatkan dari Yahya bin Said ra, Rasulullah SAW pernah minta diperahkan susu onta seraya bersabda,”Siapa yang hendak memerah susunya?” Seorang lelaki berdiri lalu Rasulullah bertanya,”Siapa namamu?” Lelaki itu menjawab, ”Murrah (pahit).” Rasulullah berkata,”Duduklah kamu.” Lalu Rasulullah bersabda lagi, ”Siapa yang hendak memerah susunya?” Seorang lelaki lain berdiri lalu Rasulullah bertanya, ”Siapa namamu?” Lelaki itu menjawab, ”Harb (perang).” Rasulullah berkata,”Duduklah kamu.” Seorang lelaki lain lagi berdiri lalu Rasulullah bertanya, ”Siapa namamu?” Lelaki itu menjawab, ”Ya’isy (lelaki yang hidup).” Rasulullah berkata, ”Ya kamu perah susunya.” (HR Malik no 2812, Bab Maa Yukrahu min Al Asmaa`Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 11/334. Imam Ibnu Hajar Al Asqalani berkata isnad hadits ini shahih, lihat Al Ishabah fi Tamyiz As Shahabah, 3/669).
Dalam hadits di atas terkandung larangan (nahi) menggunakan nama yang pengertiannya tidak baik. Namun larangan ini tak bersifat tegas (jazim) yang hukumnya haram, melainkan larangan tak tegas (ghairu jazim) yang hukumnya makruh. Di antara qarinah (indikasi) yang menunjukkan larangan itu tak tegas, hadits dari Said bin Al Musayyab dari ayahnya yang pernah datang kepada Rasulullah SAW. Lalu Rasulullah bertanya, ”Siapa namamu?” Dia menjawab, ”Hazan (kesedihan).” Rasulullah berkata, ”Namamu Sahal (kemudahan/keramahan).” Dia menjawab, ”Aku tak akan mengubah nama yang diberikan ayahku kepadaku.” Said bin Al Musayyab berkata, ”Maka sejak itu wajah keras [tanda tidak ramah] selalu ada di tengah kami.” (HR Bukhari no. 5837; Imam Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Bari, 10/591).
Dalam hadits ini Rasulullah SAW mendiamkan (taqrir) seorang shahabat yang mempertahankan namanya yang tak baik. Ini merupakan qarinah bahwa menggunakan nama yang pengertiannya tak baik hukumnya makruh, bukan haram. (Asma` Muhammad Thalib, Ahkamul Maulud fi Al Fiqh Al Islami, hlm. 363).
Oleh karena itu, menggunakan nama Alkhalifi jika yang dimaksud adalah Al Khaalifi (kha` dibaca panjang), yang artinya memang “ yang pandir/bodoh”, hukumnya makruh, bukan haram. Tapi jika yang dimaksud adalah Al Khaliifi (kha` dibaca pendek, dan lam dibaca panjang), artinya “yang menggantikan”, hukumnya tidak apa-apa, bukan makruh.
Namun sebaiknya nama Alkhalifi diganti, karena hukumnya sunnah mengganti nama yang pengertiannya tidak baik dengan nama yang lebih baik.
Dalilnya karena Rasulullah SAW pernah mengganti nama seorang perempuan bernama ‘Aashiyah(perempuan yang bermaksiat) menjadi Jamiilah (perempuan yang cantik) (HR Muslim, no 2139). Pernah pula Rasulullah SAW mengganti nama Ashram (orang miskin yang banyak tanggungannya) menjadi Zur’ah (sawah ladang), nama Harb (perang) menjadi Salam (damai), nama Al Mudhthaji’ (yang berbaring) menjadi Al Munba’its (yang bangun), dan sebagainya. (HR Abu Dawud no 4954-4956). (Imam Nawawi, Al Adzkar An Nawawiyyah, hlm. 249). Wallahu a’lam.
Sumber : https://konsultasi.wordpress.com/2014/03/10/hukum-mengganti-nama/

Hal Hal Yang Perlu Diketahui Sebelum Umroh



Berbicara tentang Umroh pasti ada banyak persiapan yang harus di penuhi, berikut adalah hal-hal yang harus diperhatikan sebelum Umroh :
1. Paspor
Paspor merupakan hal penting yang harus di persiapkan untuk berpergian keluar negeri dan juga merupakan karcis masuk ke negara lain. Dalam menggunakan nama paspor harus menggunakan 3 suku kata lain cerita kalau digunukan untuk berpergian kenegara lain tapi kalau umroh harus menggunakan nama dengan  3 suku kata.
2. Menyediakan Buku Kuning
Buku kuning merupakan tanda yang di berikan pada seseorang yang telah melakukan suntik Meningitis hal ini di karenakan penyebaran penyakit meningitis di Arab cukup cepat, penyakit ini beredar melalui udara yang dapat berujung kematian.
3.Mengetahiu Hal-Hal yang Membatalkan Umroh
Kita juga harus mempersiapkan pengetahuan tentang umroh karna jangan sampai kita sudah jauh-jauh ke tanah suci tapi kita tak tau apa-apa, misalnya hal hal yang dapat membatalkan umroh agar kita tidak melakukan hal yang sia-sia.
4.Menggunakan Kain Ihram yang Baik dan Benar
Bagi laki-laki kain ihram harus digunakan dengan baik dan benar karena dalam menggunakan kain ihram dalam melaksanakan sholat berbeda dengan menggunakan kain ihram dalam melaksanakan tawaf atau lainnya.
5. Membawa Barang Pripadi yang Darurat di dalam pesawat.
Membawa Barang yang penting bertujuan untuk kenyamanan kita dalam pesawat, misalnya baju ganti, obat-obatan pribadi dan barang apapun yang kiranya dapat menambah kenyamanan karna perjalanan menuju Jeddah membutuhkan waktu yang cukup lama.

Itulah hal-hal yang peru diketahui sebelum umroh, semoga dapat bermanfaat.

Insipirasi dari : Berita Islami Masa Kini TTV

Sabtu, 16 Mei 2015

KEBERADAAN ALLAH SWT MENURUT AL-QUR'AN DAN AS SUNNAH




Ketika para ulama salaf ditanya tentang kaiffiyah istiwa (cara Allah
bersemayam) mereka menjawab: "Istiwa (bersemayam) Allah itu sudah
dipahami, sedangkan cara-caranya tidak diketahui; mengimaninya (istiwa)
adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bid'ah." Jadi, kaum salaf
sepakat bahwa kaiffiyah istiwa itu tidak diketahui oleh manusia dan
bertanya tentang hal itu adalah bid'ah. Karena hal itu tidak dilakukan
oleh para salaf di zamannya.

Jika ada orang yang bertanya, "Bagaimana cara Allah turun ke langit
dunia?" Maka tanyakanlah kepadanya, "Bagaimanakah DIA?" Jika dia
mengatakan, "Saya tidak tahu kaiffiyah (kondisi)-Nya." Maka jawablah,
"Maka dari itu kita tidak mengetahui kaiffiyah turun-Nya. Sebab untuk
mengetahui kaiffiyah sifat harus terlebih dahulu mengetahui kaiffiyah dzat
yang disifati itu." Karena sifat itu adalah cabang dan mengikuti yang
disifatinya. Begitu juga ketika kita ingin menanyakan sifat keberadaan
Allah. Kita harus tahu kondisi Allah. Jadi bagaiman mungkin kita
menjelaskan cara Allah mendengar, melihat, berbicara, bersemayam, turun,
padahal kita tidak mengetahui bagaimana kaifiyyah dzat-Nya?

Satu-satunya yang bisa menjelaskan keberadaan Allah, hanyalah Allah
subhanahu wata'ala sendiri. Dan Allah sendiri telah menjawab pertanyaan
ini lewat nash-nash dalam Alqur'an atau As Sunnah. Keterangan dari
keduanya itulah yang sebenarnya bisa diterima dan diakui dalam aqidah
Islam, jauh dari konsep pemikiran akal manusia. Sebab jawaban kita hanya
semata-mata dari keterangan Allah Subhanahu Wata`ala sendiri yang secara
formal telah memperkenalkan diri-Nya kepada kita.

1. Allah Berada di Atas Arsy

Keterangan dari Allah ini dapat kita temukan pada ayat-ayat-Nya di bawah
ini:

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy . Dia menutupkan malam
kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan matahari, bulan dan
bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan
memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.(QS.
Al-Araf : 54)

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam
enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur segala
urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa'at kecuali sesudah ada
izin-Nya. yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia.Maka
apakah kamu tidak mengambil pelajaran? (QS. Yunus : 3)

Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang yang kamu lihat, kemudian
Dia bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan.
Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan
, menjelaskan tanda-tanda , supaya kamu meyakini pertemuan dengan Tuhanmu.
(QS. Ar-Ra’d : 2)

Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy .(QS. Thaha : 5)

Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam
enam masa, kemudian dia bersemayam di atas Arsy , Yang Maha Pemurah, maka
tanyakanlah kepada yang lebih mengetahui tentang Dia. (QS. Al-Furqan : 59)


Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara
keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy . Tidak
ada bagi kamu selain dari padaNya seorang penolongpun dan tidak seorang
pemberi syafa'at. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?(QS. As-Sajdah : 4)


Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia
bersemayam di atas 'arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan
apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang
naik kepada-Nya . Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-Hadid : 4)

Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu
delapan orang malaikat menjunjung 'Arsy Tuhanmu di atas (kepala) mereka.
(QS. Al Haaqqah: 17)

2. Allah Berada di Langit

“Tidakkah kamu merasa aman dari Allah yang berada DI LANGIT bahwa Dia akan
menjungkir-balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu
berguncang. Atau apakah merasa aman terhadap Allah yang DI LANGIT bahwa
Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui
bagaimana (akibat) mendustakan peringatan-Ku”. ( QS Al-Mulk : 16-17).

Selain itu ada hadits dari Rasulullah SAW yang juga menjelaskan tentang di
manakah Allah SWT itu .

Dari Abdullah bin Amr bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Kasihanilah yang di
bumi maka kamu akan dikasihani oleh YANG DI LANGIT". (HR. Tirmiziy).

Rasulullah bersabda: Tidakkah kalian mau percaya kepadaku padahal aku
adalah kepercayaan dari Tuhan yang ada di langit. [Bukhari no.4351 kitabul
Maghazi; Muslim no.1064 Kitabuz Zakat]

Namun tentang bagaimana keberadaan Allah SWT di langit dan di asry, kita
tidak punya keterangan pasti. Maka kita imani keberadaannya sedangkan
teknisnya seperti apa, itu majhul atau tidak dapat diketahui karena
keterbatasaan panca indera serta keterbatasan akal manusia. Dan bertanya
tentang seperti apa teknisnya adalah bid’ah. Ini adalah jawaban paling
aman dan inilah yang diajarkan Imam Ahmad kepada kita.

3. Tentang Allah Dekat dan Ada di Mana-mana

"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat
lehernya." (QS. Qaaf : 16)

Apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawa­blah),
bahwasanya aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendo'a
apabila ia berdo'a kepada-Ku...(QS Al-Baqarah: 186).

Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa
yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hadid : 4)

Namun kata ma’a tidak berarti menunjukkan tempat seseorang berada. Sebab
dalam percakapan kita bisa mengatakan bahwa aku menyertaimu, meski pada
kenyataannya tidak berduaan. Sebab kebersamaan Allah SWT dalam ayat ini
adalah berbentuk muraqabah atau pengawasan.

Seperti ketika Rasulullah berkata pada Abu Bakar saat berada di dalam gua,
"Jangan kamu sedih, Allah beserta kita". Ini tidak berarti Allah SWT ikut
masuk gua. Tapi, lebih bermakna bahwa mereka berada dalam pengawasan
Allah. Jadi, keterangan yang mengatakan Allah ada di mana-mana bukan
merujuk pada tempat atau keberadaan-Nya, melainkan kebersamaan-Nya melalui
pengawasan serta rida-Nya bagi orang-orang yang teguh berada di jalan-Nya.


Perpaduan antara ma'iyah (kebersamaan) dan 'uluw (keberadaan di atas) bisa
terjadi pada makhluk. Seperti dikatakan: "Kami masih meneruskan perjalanan
dan rembulan pun bersama kami". Kalimat ini tidaklah dianggap
bertentangan, padahal sudah barang tentu bahwa orang yang melakukan
perjalanan itu berada di bumi sedangkan rembulan berada di langit. Apabila
hal ini bisa terjadi pada makhluk, maka bagaimana pikiran Anda dengan
Al-Khaliq yang meliputi segala sesuatu?

Apakah tidak bisa dikatakan bahwa Dia bersama Makhluk-Nya di samping Dia
Maha Tinggi berada di atas mereka, terpisah dari mereka, bersemayam di
atas 'arsy-Nya? (Kaidah-kaidah Utama..., hal. 156).

Syeikh 'Utsaimin menjelaskan tentang, ayat "...Dan Dia bersama kamu di
manapun kamu berada." (QS 57: 4), bahwasannya ma'iyah (kebersamaan) dalam
ayat ini sama sekali tidak menunjukkan pengertian Allah Subhanahu Wata'ala
bercampur dengan makhluk atau tinggal bersama di tempat mereka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al-'Aqidah Al-Waasithiyah (hal. 115,
cetakan ketiga, komentar Muhammad Khalil Al-Harras), mengatakan:

"Dan pengertian dari firman-Nya: 'Dan Dia bersama kamu', bukanlah berarti
bahwa Allah itu bercampur dengan makhluk-Nya karena hal ini tidak
dibenarkan oleh bahasa. Bahkan, bulan seba­gai satu tanda dari tanda-tanda
(kemahatinggian dan kebesaran) Ilahi, yang termasuk di antara makhluk-Nya
yang terkecil dan terletak di langit itu, tetapi dia dikatakan bersama
musafir dan yang bukan musafir di mana saja berada padahal musafir
tentunya berada di bumi, terpisah dari bulan yang berada di langit)."

Menurut Syeikh 'Utsaimin: Tidak ada orang yang berpendapat dengan makna
bathil (Allah bercampur dengan makhluk atau tinggal bersama di tempat
mereka) ini kecuali Al-Hululiyah (Pantheisme) seperti orang-orang
terdahulu dari Jahmiyah dan mereka yang mengatakan bahwa Allah dengan
dzat-Nya berada di setiap tempat. Maha suci Allah dari perkataan mereka
dan amat besar dosanya atas ucapan yang keluar dari mulut mereka. Apa yang
mereka katakan tiada lain adalah kebatilan.

Perkataan mereka ini telah dibantah oleh para ulama Salaf dan imam yang
sempat menjumpainya, karena perkataan tersebut menim­bulkan beberapa
konsekwensi yang tidak dapat dibenarkan yang menunjukkan bahwa Allah
mempunyai sifat-sifat kekurangan dan mengingkari keberadaan Allah di atas
makhluk-Nya.

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Ibnu Umar membacakan ayat "Dan
kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di
situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha
Mengetahui". (QS. Al Baqarah: 115) kemudian menjelaskan peristiwanya
sebagai berikut. Ketika Rasulullah SAW dalam perjalanan dari Mekah ke
Madinah shalat sunnat di atas kendaraan menghadap sesuai dengan arah
tujuan kendaraannya. (Diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi dan Nasa'i yang
bersumber dari Ibnu Umar.)

Kalimat maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah maksudnya;
kekuasaan Allah meliputi seluruh alam; sebab itu di mana saja manusia
berada, Allah mengetahui perbuatannya, karena ia selalu berhadapan dengan
Allah.

Menurut Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan Allah ada di mana-mana adalah
bathil karena itu merupakan perkataan golongan bid'ah dari aliran Jahmiyah
dan Mu'tazilah serta aliran lain yang sejalan dengan mereka. Jawaban yang
benar adalah yang diikuti oleh Ahli Sunnah wal Jama'ah, yaitu Allah
subhanahu wa ta'ala ada di langit di atas Arsy, di atas semua makhlukNya.
Akan tetapi ilmu-Nya ada di mana-mana (meliputi segala sesuatu).

Bagaimana seseorang bisa mengatakan bahwa dzat Allah berada pada setiap
tempat, atau Allah bercampur dengan makhluk, padahal Allah SWT itu
"KursiNya meliputi langit dan bumi" (QS 2:255), dan "Bumi seluruhnya dalam
genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan
kanan-Nya" (QS 39:67)?

4. Tentang Allah Ada di Dalam Diri dan Hati Manusia

Dalam hadis qudsi (hadis yang maksudnya berasal dari Allah SWT, lafalnya
berasal dari Nabi SAW) disebutkan bahwa Allah SWT berfirman:

"Barang siapa memusuhi seseorang wali-Ku, maka Aku mengumumkan
permusuhan-Ku terhadapnya. Tidak ada sesuatu yang mendekatkan hamba-Ku
kepada-Ku yang lebih kusukai daripada pengamalan segala yang Kufardukan
atasnya. Kemudian, hamba-Ku yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku
dengan melaksanakan amal-amal sunnah, maka Aku senantiasa mencintainya.
Bila Aku telah cinta kepadanya, jadilah Aku pendengarannya yang dengannya
ia mendengar, Aku penglihatannya yang dengannya ia melihat, aku tangannya
yang dengannya ia memukul, dan Aku kakinya yang dengan itu ia berjalan.
Bila ia memohon kepada-Ku, Aku perkenankan permohonannya, jika ia meminta
perlindungan, ia Kulindungi." (HR. Bukhari).

Hadis ini sering digunakan sebagai dalil oleh para sufi untuk menunjukan
kebersatuan Allah dengan makhluk-Nya. Atau istilahnya, manunggaling kawula
Gusti. Ini jelas pendapat yang tidak benar. Bagaimana mungkin Dzat Allah
bercampur dengan Makhluk-Nya?

Firman Allah Ta'ala: "Bila Aku telah cinta kepadanya, jadilah Aku
pendengarannya yang dengannya ia mendengar, Aku pengliha­tannya yang
dengannya ia melihat, aku tangannya yang dengannya ia memukul, dan Aku
kakinya yang dengan itu ia berjalan. Bila ia memohon kepada-Ku, Aku
perkenankan permohonannya, jika ia meminta perlindungan, ia Kulindungi",
sesungguhnya memiliki makna bahwa Allah membenarkannya, menjaganya
mengenai pendengarannya, penglihatannya, tangannya, dan kakinya, maka ia
tidak menggunakan anggota-anggota badannya ini untuk bermaksiat, dan ia
hanya menggunakannya dalam ketaatan pada Allah Azza wa Jalla.

Ibnu Daqiq Al-Ied berkata: "Arti firman Allah itu bahwa ia (yang dicintai
Allah ini) tidak mendengarkan apa yang tidak diizinkan Allah baginya untuk
mendengarnya, dan tidak melihat sesuatu yang tidak diizinkan Allah untuk
melihatnya, dan tidak mengulurkan tangannya kepada sesuatu yang tidak
diizinkan Allah untuk menjangkaunya, dan tidak berjalan kecuali kepada hal
yang diizinkan Allah baginya untuk menuju padanya..." selesailah arti­nya
itu, dan tafsiran itu ditunjukkan pula oleh firmaNya dalam akhir hadits
Qudsi tersebut: Bila ia memohon kepada-Ku, Aku perkenankan permohonannya,
jika ia meminta perlindungan, ia Kulindungi." Artinya, Allah Ta'ala
menyertainya dengan menyetujuinya, menolongnya, dan menjaga
anggota-anggota badannya dari segala larangan, karena balasan itu adalah
setimpal dengan perbu­atan.

Dengan penjelasan-penjelasan di atas, maka terbantahlah pendapat yang
mengatakan bahwa Allah bersemayam dalam hati dan diri manusia.

5. Tentang Allah Seperti Udara, Angin, Cinta, dll

Nu'aim bin Hammad, guru Imam Al Bukhari mengatakan, "Barang siapa
menyamakan Allah dengan makhluk, maka ia kafir. Barang siapa menolak sifat
Allah yang disandangkan-Nya untuk Diri-Nya atau disandangkan oleh
Rasul-Nya maka ia kafir. Dan dalam sifat-sifat Allah yang disandangkan
oleh-Nya atau oleh Rasulullah saw. tidak ada kesamaan atau kemiripan
dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Sebagaimana firman Allah:

Tidak ada yang sama dengan-Nya sesuatu apapun (QS.Asy-Syuura: 11)

Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya (QS. Al-Ikhlas: 4)

Maka janganlah kalian membuat perumpamaan-perumpamaan bagi Allah (QS.
An-Nahl: 47).

Ketidaktahuan dalam masalah ini merupakan sesuatu yang masih dapat
dimaafkan. Demikian juga halnya dengan kekeliruan dan kesalahan dalam
memberikan penafsiran. Seandainya hal tersebut tidak dapat dimaafkan,
tentu apa yang dilakukan oleh para mutakallimin (teolog) yang menafsirkan
nash-nash yang menjelaskan sifat-sifat Allah dihukumi sebagai kekufuran.
Di mana mereka membawa nash-nash tersebut kepada pemahaman yang
majazi/kiasan (bukan arti yang sebenarnya), dan menganggap hal itu bukan
merupakan sesuatu yang tetap bagi Allah dalam pengertian yang sebenarnya.
Hal ini dikarenakan prasangka mereka yang mendorong mereka untuk
menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Dengan demikian, maka penolakan
mereka terhadap nash-nash yang berkaitan dengan masalah sifat-sifat Allah
ini didasarkan kepada keinginan untuk menyucikan Allah SWT dari
penyerupaan terhadap makhluk-Nya, menurut prasangka mereka. Dengan
demikian, maka dapat dipahami bahwa sebenarnya, mereka tidak bermaksud
menolak
atau mengingkari nash-nash tersebut dengan maksud ingin mendustakannya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata, "Imam Ahmad ra
menaruh belas kasihan kepada mereka (yakni, aliran Jahmiyyah) dan
memaafkan mereka. Karena, menurut pandangan beliau bahwa mereka itu tidak
mendustakan Rasulullah saw dan tidak mengingkari risalah (ajaran) yang
dibawanya. Akan tetapi, mereka keliru dalam memberikan penafsiran dan
mereka mengikuti pendapat orang yang mengatakan hal itu kepada mereka."

Manhaj dalam memahami nama dan sifat Allah yang disebutkan dalam Alqur'an
dan Sunnah tanpa melakukan:
1. Tasybih, yakni menyerupakan Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya;
2. Tahrif, yakni mengubah atau mengganti lafal-lafal nama dan sifat Allah.
Atau mengganti artinya;
3. Ta'thil (pengabaian, membuat tidak berfungsi)l, yakni menampik sifat
Allah dan menyangkal keberadaannya pada Dzat Allah Swt;
4. Takyif (mengondisikan), yakni menentukan kondisi dan menetapkan
esesi-Nya. Inilah mazhab para salaf—sahabat, tabi'in, serta tabi'ut
tabi'in.

Wallahu'alam bishshawab

sumber : http://idomoeslim.blogspot.com/2010/02/keberadaan-allah-menurut-al-quran-dan.html

Jumat, 15 Mei 2015

'Amin' Kata yang Bisa Menebus Dosa

Hadits yang Menceritakan Tentang Amin, Satu Kata Untuk Pelebur Dosa
Mungkin kita akan terbingung-bingung, mengapa sebuah kata yang amat pendek bisa memiliki khasiat yang amat banyak. Tapi tenyata, ada sebuah hadits yang menceritakan mengenai dahsyatnya ucapan amin yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Lewat hadits tersebut, diceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda mengenai kita yang sebaiknya mengucap “amin” jika imam sholat kita mengucapkannya. Hal ini disebabkan karena “amin” kita jika bersamaan dengan “amin” dari para malaikat maka akan menyebabkan hilangnya dosa-dosa yang dulu pernah kita kerjakan.

Setelah diteliti, ternyata amat normal jika ungkapan “amin” adalah ungkapan yang kuat, karena ia memiliki makna yang cukup dalam, yaitu sebuah perkataan yang diucapkan untuk meminta pada Allah agar mengabulkan doa yang sebelumnya tengah atau baru saja selesai kita baca saat shalat maupun ketika kita membuka Qur’an. Hikmah mengucap amin setelah doa dibacakan berarti kita meminta dengan sungguh-sungguh kepada Allah untuk mengabulkan doa tersebut. Hal ini akan menjadi jauh lebih luar biasa saat kita mengucapkannya tepat setelah imam shalat kita selesai membaca Al-Fatihah mengingat Al-Fatihah sendiri adalah surat yang paling agung dan yang paling mulia jika dibandingkan dengan surat-surat lainnya di dalam Al-Quran.

Faidah Lainnya dari Mengucap Kata Amin Saat Shalat Berjama’ah
Di atas sudah disebutkan dua faidah mengucap amin yaitu mengenai arti ungkapannya dan apa yang akan terjadi jika kita mengucapkannya saat imam selesai membacakan al-fatihah. Berikut adalah faidah-faidah lainnya:

• Kapankah amin sebaiknya keluar dari mulut kita?
Hasil diskusi para ulama-ulama yang membahas mengenai kata amin menyimpulkan bahwa sebaiknya kita mengucap amin sesaat setelah surat al-Fatihah selesai dibacakan oleh imam shalat kita.

• Kapankah mengucapkan amin? Sesudah imam atau sebelum?
Untuk mendapatkan hasil terbaik dari kata amin, satu kata untuk pelebur dosa, kta sebaiknya menunggu imam memulainya, seperti yang ada dalam hadits dimana saat imam mulai bersiap untuk mengucap amin, ma’mum shalat juga bersiap-siap agar ucapannya bisa menjadi lebih harmonis.


• Apakah pengucapan amin boleh mendahului imam?
Jika kita ingin mendapatkan keutamaan besar dari kata-kata amin, kita dilarang untuk mendahului imam ataupun selesai lebih dahulu.

• Dosa jenis apa saja yang dihilangkan?
Memang tidak dijelaskan secara detil dosa macam apa yang akan dihapuskan, tapi para ulama setuju bahwa yang dimaksudkan pada hadits di atas adalah secara umum, yang berarti bukan hanya dosa kecil yang dihapus melainkan juga dosa yang besar. Meski begitu, masih ada beberapa debat mengenainya.

• Apa maksud bersamaan pada hadits tadi?
Bersamaan disini bisa bermaksud bersamaan waktu, atau bersamaan sifat dimana manusia akan menjadi seperti malaikat yang merendahkan diri saat berdo’a.

• Siapa saja malaikat yang turut mengucap amin?
Ada beberapa perdebatan mengenai malaikat mana yang ikut mengucap, tapi mayoritas ulama memilih untuk menggunakan malaikat yang mengikuti shalat berjamaah. Karena hanya dari itu lah mereka bisa ikut mengucap amin, satu kata untuk pelebur dosa.

Sumber : http://www.kumpulanmisteri.com/2015/04/dahsyatnya-ucapan-amin-satu-kata-untuk.html

Rabu, 17 Desember 2014

perbedaan jin setan dan iblis






Jin
Jin adalah salah satu jenis makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memiliki sifat fisik tertentu, berbeda dengan jenis manusia atau malaikat.
Jin diciptakan dari bahan dasar api, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan,
خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ كَالْفَخَّارِ (14) وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ(15)
Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar. Dan Dia menciptakan jin dari nyala api.” (QS. Ar-Rahman: 14 – 15)
Jin memiliki kesamaan dengan manusia dalam dua hal:
a. Jin memiliki akal dan nafsu, sebagaimana manusia juga memiliki akal dan nafsu.
b. Jin mendapatkan beban perintah dan larangan syariat, sebagaimana mausia juga mendapatkan beban perintah dan larangan syariat.
Oleh karena itu, ada jin yang muslim dan ada jin yang kafir. Ada jin yang baik dan ada jin yang jahat. Ada jin yang pintar masalah agama dan ada jin yang bodoh. Bahkan ada jin Ahlussunnah dan ada jin pengikut kelompok sesat, dst.
Sedangkan perbedaan jin dengan mansuia yang paling mendasar adalah dari asal penciptaan dan kemampuan bisa kelihatan dan tidak.
Makhluk ini dinamakan jin, karena memiliki sifat ijtinan (Arab: اجتنان), yang artinya tersembunyi dan tidak kelihatan. Manusia tidak bisa melihat jin dan jin bisa melihat manusia. Allah berfirman,
إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ
Sesungguhnya ia (iblis) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu di suatu keadaan yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (QS. Al-A’raf: 27)

Setan
Untuk memahami setan, satu prinsip yang harus Anda pegang: Jin itu makhluk dan setan itu sifat. Karena setan itu sifat, maka dia melekat pada makhluk dan bukan berdiri sendiri.
Setan adalah sifat untuk menyebut setiap makhluk yang jahat, membangkang, tidak taat, suka membelot, suka maksiat, suka melawan aturan, atau semacamnya.
Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar mengatakan,
الشيطان في لغة العرب يطلق على كل عاد متمرد
“Setan dalam bahasa Arab digunakan untuk menyebut setiap makhluk yang menentang dan membangkang.” (Alamul Jinni was Syayathin, Hal. 16).
Dinamakan setan, dari kata; syutun (Arab: شطون) yang artinya jauh. Karena setan dijauhkan dari rahmat Allah. (Al-Mu’jam Al-Wasith, kata: الشيطان)
Kembali pada keterangan sebelumnya, karena setan itu sifat maka kata ini bisa melekat pada diri manusia dan jin. Sebagaimana penjelasan Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa ada setan dari golongan jin dan manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, setelah menjelaskan sifat-sifat setan,
مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ
(setan yang membisikkan itu) dari golongan jin dan mausia.” (QS. An-Nas: 6).

Iblis
Siapakah iblis? Iblis adalah nama salah satu jin yang menjadi gembongnya para pembangkang. Dalil bahwa iblis dari golongan jin adalah firman Allah,
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ
Ingatlah ketika Kami berkata kepada para maialakt, ‘Sujudlah kallian kepada Adam!’ maka mereka semua-pun sujud kecuali Iblis. Dia dari golongan jin dan membangkang dari perintah Allah.” (QS. Al-Kahfi: 46)
Iblis juga memiliki keturunan, sebagaimana umumnya jin lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ
Iblis itu dari golongan jin, dan dia membangkang terhadap perintah Rab-nya. Akankah kalian menjadikan dia dan keturunannya sebagai kekasih selain Aku, padahal mereka adalah musuh bagi kalian…” (QS. Al-Kahfi: 46)

sumber : http://www.konsultasisyariah.com/perbedaan-jin-setan-dan-iblis/

Selasa, 16 Desember 2014

hukum zina menurut islam

Ternyata banyak yang mempertanyakan bagaimana pengertian zina dan apa saja yang termasuk kategori yang termasuk zina dalam Islam. Dalam kesempatan kali ini, saya akan membahas tentang Hukum Berzina Dalam Islam.
Zina adalah perbuatan bersanggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan (perkawinan). Secara umum, zina bukan hanya di saat manusia telah melakukan hubungan seksual, tapi segala aktivitas-aktivitas seksual yang dapat merusak kehormatan manusia termasuk dikategorikan zina. Hukum zina dalam Islam adalah    haram karena Allah sangat mencela perbuatan ini.
Allah SWT berfirman :
Wa laa taqrabuz zinaa innahu kaana faahisyatan wa saa`a sabiilan [ Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. ] (QS. Al-Isra`: 32)
Tentang perzinaan di dalam Al-Qur’an disebutkan juga di dalam ayat-ayat berikut : (Al Maa’idah:5), (An Nisaa':24-25).
Hadits Tentang Zina :
Seorang muslim yang bersyahadat tidak halal dibunuh, kecuali tiga jenis orang: ‘Pembunuh, orang yang sudah menikah lalu berzina, dan orang yang keluar dari Islam‘” (HR. Bukhari no. 6378, Muslim no. 1676)
Catatan: Para ulama menjelaskan bahwa hak membunuh tiga jenis orang di sini tidak terdapat pada semua orang.
“Tanda-tanda datangnya kiamat diantaranya: Ilmu agama mulai hilang, dan kebodohan terhadap agama merajalela, banyak orang minum khamr, dan banyak orang yang berzina terang-terangan” (HR. Bukhari no.80)
Ada seorang lelaki, yang sudah masuk Islam, datang kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengakui dirinya berbuat zina. Nabi berpaling darinya hingga lelaki tersebut mengaku sampai 4 kali. Kemudian beliau bertanya: ‘Apakah engkau gila?’. Ia menjawab: ‘Tidak’. Kemudian beliau bertanya lagi: ‘Apakah engkau pernah menikah?’. Ia menjawab: ‘Ya’. Kemudian beliau memerintah agar lelaki tersebut dirajam di lapangan. Ketika batu dilemparkan kepadanya, ia pun lari. Ia dikejar dan terus dirajam hingga mati. Kemudian Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengatakan hal yang baik tentangnya. Kemudian menshalatinya” (HR. Bukhari no. 6820)
Pezina tidak dikatakan mu’min ketika ia berzina” (HR. Bukhari no. 2475, Muslim no.57)
Mengasingkan pezina itu sunnah” (HR. Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 8/349)
Abu Hurairah berkata: “‘Iman itu suci. Orang yang berzina, iman meninggalkannya. Jika ia menyesal dan bertaubat, imannya kembali‘” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Syu’abul Iman, di-shahihkan Al Albani dalam Takhrij Al Iman, 16)
Hukuman di Dunia bagi orang yang berzina adalah dirajam (dilempari batu) jika ia pernah menikah, atau dicambuk seratus kali jika ia belum pernah menikah lalu diasingkan selama satu tahun. Jika di Dunia ia tidak sempat mendapat hukuman tadi, maka di Akhirat ia disiksa di neraka. Bagi wanita pezina, di Neraka ia disiksa dalam keadaan tergantung pada payudaranya.
Macam-macam Zina dalam Islam :
A. Zina Al-Lamam
- Zina ain (zina mata) yaitu memandang lawan jenis dengan perasaan senang.
- Zina qolbi (zina hati) yaitu memikirkan atau menghayalkan lawan jenis dengan perasaan senang kepadanya.
- Zina lisan (zina ucapan) yaitu membincangkan lawan jenis dengan perasaan senang kepadanya
- Zina yadin (zina tangan) yaitu memegang tubuh lawan jenis dengan perasaan senang kepadanya
B. Zina Luar Luar Al-Lamam (Zina Yang Sebenarnya)
- Zina muhsan yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang telah bersuami istri, hukumannya
  adalah dirajam sampai mati.
- Zina gairu muhsan yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang belum bersuami istri,
  hukumannya adalah didera sebanyak 100X dengan menggunakan rotan.
Perbuatan zina adalah perbuatan dosa besar yang berakibat akan mendapatkan sangsi yang berat bagi pelaku, oleh karena itu untuk menentukan bahwa seseorang telah berbuat zina dapat dilakukan dengan 4 cara sebagaimana telah digariskan oleh rasulullah saw, yaitu : ada 4 orang saksi yang adil, laki-laki, memberikan yang sama mengenai: tempat, waktu, pelaku, dan cara melakukannya.
Pengakuan dari pelaku dengan syarat pelaku sudah baligh dan berakal. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Malik pengakuan cukup diucapkan oleh pelaku satu kali, namun menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad pengakuan harus diulang-ulang sampai empat kali, setelah itu baru dijatuhi hukuman.
Bahaya-bahaya Zina :
Berikut ini adalah beberapa akibat buruk dan bahaya zina:
  • Dalam zina terkumpul bermacam-macam dosa dan keburukan, yakni berkurangnya agama si pezina, hilangnya sikap menjaga diri dari dosa, kepribadian buruk, dan hilangnya rasa cemburu.
  • Zina membunuh rasa malu, padahal dalam Islam malu merupakan suatu hal yang sangat diperdulikan dan perhiasan yang sangat indah dimiliki perempuan.
  • Menjadikan wajah pelakunya muram dan gelap.
  • Membuat hati menjadi gelap dan mematikan sinarnya.
  • Menjadikan pelakunya selalu dalam kemiskinan atau merasa demikian sehingga tidak pernah merasa cukup dengan apa yang diterimanya.
  • Akan menghilangkan kehormatan pelakunya dan jatuh martabatnya baik di hadapan Allah maupun sesama manusia.
  • Tumbuhnya sifat liar di hati pezina, sehingga pandangan matanya liar dan tidak terarah.
  • Pezina akan dipandang oleh manusia dengan pandangan muak dan tidak dipercaya.
  • Zina mengeluarkan bau busuk yang mampu dideteksi oleh orang-orang yang memiliki hati yang bersih melalui mulut atau badannya.
  • Kesempitan hati dan dada selalu dirasakan para pezina. Apa yang dia dapatkan dalam kehidupan adalah kebalikan dari apa yang diinginkannya. Dikarenakan orang yang mencari kenikmatan hidup dengan cara yang melanggar perintah Allah, maka Allah akan memberikan yang sebaliknya dari apa yang dia inginkan, dan Allah tidak menjadikan larangannya sebagai jalan untuk mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan.
  • Pezina telah mengharamkan dirinya untuk mendapat bidadari di dunia maupun di akhirat.
  • Perzinaan menjadikan terputusnya hubungan persaudaraan, durhaka kepada orang tua, pekerjaan haram, berbuat zalim, serta menyia-nyiakan keluarga dan keturunan. Bahkan dapat terciptanya pertumpahan darah dan sihir serta dosa-dosa besar yang lain. Zina biasanya berkait dengan dosa dan maksiat yang lain, sehingga pelakunya akan melakukan dosa-dosa yang lainnya.
  • Zina menghilangkan harga diri pelakunya dan merusak masa depannya, sehingga membebani kehinaan yang berkepanjangan kepada pezina dan kepada seluruh keluarganya.
  • Kehinaan yang melekat kepada pelaku zina lebih membekas dan mendalam daripada kekafiran. Kafir yang memeluk Islam, maka selesai persoalannya, namun dosa zina akan benar-benar membekas dalam jiwa. Walaupun pelaku zina telah bertaubat dan membersihkan diri, pezina masih merasa berbeda dengan orang yang tidak pernah melakukannya.
  • Jika wanita hamil dari hasil perzinaan, maka untuk menutupi aibnya ia mengugurkan kandungannya. Selain telah berzina, pezina juga telah membunuh jiwa yang tidak berdosa. Jika pezina adalah seorang perempuan yang telah bersuami dan melakukan perselingkuhan sehingga hamil dan membiarkan anak itu lahir, maka pezina telah memasukkan orang asing dalam keluarganya dan keluarga suaminya sehingga anak itu mendapat hak warisan mereka tanpa disadari siapa dia sebenarnya.
  • Perzinaan akan melahirkan generasi yang tidak memiliki silsilah kekeluargaan menurut hubungan darah (nasab). Di mata masyarakat mereka tidak memiliki status sosial yang jelas.
  • Pezina laki-laki bermakna bahwa telah menodai kesucian dan kehormatan wanita.
  • Zina dapat menimbulkan permusuhan dan menyalakan api dendam pada keluarga wanita dengan lelaki yang telah berzina dengan wanita dari keluarga tersebut.
  • Perzinaan sangat mempengaruhi jiwa keluarga pezina, mereka akan merasa jatuh martabat di mata masyarakat, sehingga mereka tidak berani untuk mengangkat wajah di hadapan orang lain.
  • Perzinaan menyebabkan menularnya penyakit-penyakit berbahaya seperti AIDS, sifillis, kencing nanah dan penyakit-penyakit lainnya yang ditularkan melalui hubungan seksual.
  • Perzinaan adalah penyebab bencana kepada manusia, mereka semua akan dimusnahkan oleh Allah akibat dosa zina yang menjadi tradisi dan dilakukan secara terang-terangan.
Demikianlah pembahasan tentang Hukum Berzina Dalam Islam. Semoga Allah SWT senantiasa menjauhkan kita dari perbuatan keji tersebut. Aamiin….

sumber : http://muhsyafiqhan.wordpress.com/2012/12/26/hukum-berzina-dalam-islam/