Rabu, 17 Desember 2014

perbedaan jin setan dan iblis






Jin
Jin adalah salah satu jenis makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala yang memiliki sifat fisik tertentu, berbeda dengan jenis manusia atau malaikat.
Jin diciptakan dari bahan dasar api, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa Ta’ala firmankan,
خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ كَالْفَخَّارِ (14) وَخَلَقَ الْجَانَّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ(15)
Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar. Dan Dia menciptakan jin dari nyala api.” (QS. Ar-Rahman: 14 – 15)
Jin memiliki kesamaan dengan manusia dalam dua hal:
a. Jin memiliki akal dan nafsu, sebagaimana manusia juga memiliki akal dan nafsu.
b. Jin mendapatkan beban perintah dan larangan syariat, sebagaimana mausia juga mendapatkan beban perintah dan larangan syariat.
Oleh karena itu, ada jin yang muslim dan ada jin yang kafir. Ada jin yang baik dan ada jin yang jahat. Ada jin yang pintar masalah agama dan ada jin yang bodoh. Bahkan ada jin Ahlussunnah dan ada jin pengikut kelompok sesat, dst.
Sedangkan perbedaan jin dengan mansuia yang paling mendasar adalah dari asal penciptaan dan kemampuan bisa kelihatan dan tidak.
Makhluk ini dinamakan jin, karena memiliki sifat ijtinan (Arab: اجتنان), yang artinya tersembunyi dan tidak kelihatan. Manusia tidak bisa melihat jin dan jin bisa melihat manusia. Allah berfirman,
إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ
Sesungguhnya ia (iblis) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu di suatu keadaan yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (QS. Al-A’raf: 27)

Setan
Untuk memahami setan, satu prinsip yang harus Anda pegang: Jin itu makhluk dan setan itu sifat. Karena setan itu sifat, maka dia melekat pada makhluk dan bukan berdiri sendiri.
Setan adalah sifat untuk menyebut setiap makhluk yang jahat, membangkang, tidak taat, suka membelot, suka maksiat, suka melawan aturan, atau semacamnya.
Dr. Umar Sulaiman Al-Asyqar mengatakan,
الشيطان في لغة العرب يطلق على كل عاد متمرد
“Setan dalam bahasa Arab digunakan untuk menyebut setiap makhluk yang menentang dan membangkang.” (Alamul Jinni was Syayathin, Hal. 16).
Dinamakan setan, dari kata; syutun (Arab: شطون) yang artinya jauh. Karena setan dijauhkan dari rahmat Allah. (Al-Mu’jam Al-Wasith, kata: الشيطان)
Kembali pada keterangan sebelumnya, karena setan itu sifat maka kata ini bisa melekat pada diri manusia dan jin. Sebagaimana penjelasan Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa ada setan dari golongan jin dan manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, setelah menjelaskan sifat-sifat setan,
مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ
(setan yang membisikkan itu) dari golongan jin dan mausia.” (QS. An-Nas: 6).

Iblis
Siapakah iblis? Iblis adalah nama salah satu jin yang menjadi gembongnya para pembangkang. Dalil bahwa iblis dari golongan jin adalah firman Allah,
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ
Ingatlah ketika Kami berkata kepada para maialakt, ‘Sujudlah kallian kepada Adam!’ maka mereka semua-pun sujud kecuali Iblis. Dia dari golongan jin dan membangkang dari perintah Allah.” (QS. Al-Kahfi: 46)
Iblis juga memiliki keturunan, sebagaimana umumnya jin lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
كَانَ مِنَ الْجِنِّ فَفَسَقَ عَنْ أَمْرِ رَبِّهِ أَفَتَتَّخِذُونَهُ وَذُرِّيَّتَهُ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِي وَهُمْ لَكُمْ عَدُوٌّ
Iblis itu dari golongan jin, dan dia membangkang terhadap perintah Rab-nya. Akankah kalian menjadikan dia dan keturunannya sebagai kekasih selain Aku, padahal mereka adalah musuh bagi kalian…” (QS. Al-Kahfi: 46)

sumber : http://www.konsultasisyariah.com/perbedaan-jin-setan-dan-iblis/

Selasa, 16 Desember 2014

hukum zina menurut islam

Ternyata banyak yang mempertanyakan bagaimana pengertian zina dan apa saja yang termasuk kategori yang termasuk zina dalam Islam. Dalam kesempatan kali ini, saya akan membahas tentang Hukum Berzina Dalam Islam.
Zina adalah perbuatan bersanggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan (perkawinan). Secara umum, zina bukan hanya di saat manusia telah melakukan hubungan seksual, tapi segala aktivitas-aktivitas seksual yang dapat merusak kehormatan manusia termasuk dikategorikan zina. Hukum zina dalam Islam adalah    haram karena Allah sangat mencela perbuatan ini.
Allah SWT berfirman :
Wa laa taqrabuz zinaa innahu kaana faahisyatan wa saa`a sabiilan [ Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. ] (QS. Al-Isra`: 32)
Tentang perzinaan di dalam Al-Qur’an disebutkan juga di dalam ayat-ayat berikut : (Al Maa’idah:5), (An Nisaa':24-25).
Hadits Tentang Zina :
Seorang muslim yang bersyahadat tidak halal dibunuh, kecuali tiga jenis orang: ‘Pembunuh, orang yang sudah menikah lalu berzina, dan orang yang keluar dari Islam‘” (HR. Bukhari no. 6378, Muslim no. 1676)
Catatan: Para ulama menjelaskan bahwa hak membunuh tiga jenis orang di sini tidak terdapat pada semua orang.
“Tanda-tanda datangnya kiamat diantaranya: Ilmu agama mulai hilang, dan kebodohan terhadap agama merajalela, banyak orang minum khamr, dan banyak orang yang berzina terang-terangan” (HR. Bukhari no.80)
Ada seorang lelaki, yang sudah masuk Islam, datang kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengakui dirinya berbuat zina. Nabi berpaling darinya hingga lelaki tersebut mengaku sampai 4 kali. Kemudian beliau bertanya: ‘Apakah engkau gila?’. Ia menjawab: ‘Tidak’. Kemudian beliau bertanya lagi: ‘Apakah engkau pernah menikah?’. Ia menjawab: ‘Ya’. Kemudian beliau memerintah agar lelaki tersebut dirajam di lapangan. Ketika batu dilemparkan kepadanya, ia pun lari. Ia dikejar dan terus dirajam hingga mati. Kemudian Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengatakan hal yang baik tentangnya. Kemudian menshalatinya” (HR. Bukhari no. 6820)
Pezina tidak dikatakan mu’min ketika ia berzina” (HR. Bukhari no. 2475, Muslim no.57)
Mengasingkan pezina itu sunnah” (HR. Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 8/349)
Abu Hurairah berkata: “‘Iman itu suci. Orang yang berzina, iman meninggalkannya. Jika ia menyesal dan bertaubat, imannya kembali‘” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Syu’abul Iman, di-shahihkan Al Albani dalam Takhrij Al Iman, 16)
Hukuman di Dunia bagi orang yang berzina adalah dirajam (dilempari batu) jika ia pernah menikah, atau dicambuk seratus kali jika ia belum pernah menikah lalu diasingkan selama satu tahun. Jika di Dunia ia tidak sempat mendapat hukuman tadi, maka di Akhirat ia disiksa di neraka. Bagi wanita pezina, di Neraka ia disiksa dalam keadaan tergantung pada payudaranya.
Macam-macam Zina dalam Islam :
A. Zina Al-Lamam
- Zina ain (zina mata) yaitu memandang lawan jenis dengan perasaan senang.
- Zina qolbi (zina hati) yaitu memikirkan atau menghayalkan lawan jenis dengan perasaan senang kepadanya.
- Zina lisan (zina ucapan) yaitu membincangkan lawan jenis dengan perasaan senang kepadanya
- Zina yadin (zina tangan) yaitu memegang tubuh lawan jenis dengan perasaan senang kepadanya
B. Zina Luar Luar Al-Lamam (Zina Yang Sebenarnya)
- Zina muhsan yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang telah bersuami istri, hukumannya
  adalah dirajam sampai mati.
- Zina gairu muhsan yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang belum bersuami istri,
  hukumannya adalah didera sebanyak 100X dengan menggunakan rotan.
Perbuatan zina adalah perbuatan dosa besar yang berakibat akan mendapatkan sangsi yang berat bagi pelaku, oleh karena itu untuk menentukan bahwa seseorang telah berbuat zina dapat dilakukan dengan 4 cara sebagaimana telah digariskan oleh rasulullah saw, yaitu : ada 4 orang saksi yang adil, laki-laki, memberikan yang sama mengenai: tempat, waktu, pelaku, dan cara melakukannya.
Pengakuan dari pelaku dengan syarat pelaku sudah baligh dan berakal. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Malik pengakuan cukup diucapkan oleh pelaku satu kali, namun menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad pengakuan harus diulang-ulang sampai empat kali, setelah itu baru dijatuhi hukuman.
Bahaya-bahaya Zina :
Berikut ini adalah beberapa akibat buruk dan bahaya zina:
  • Dalam zina terkumpul bermacam-macam dosa dan keburukan, yakni berkurangnya agama si pezina, hilangnya sikap menjaga diri dari dosa, kepribadian buruk, dan hilangnya rasa cemburu.
  • Zina membunuh rasa malu, padahal dalam Islam malu merupakan suatu hal yang sangat diperdulikan dan perhiasan yang sangat indah dimiliki perempuan.
  • Menjadikan wajah pelakunya muram dan gelap.
  • Membuat hati menjadi gelap dan mematikan sinarnya.
  • Menjadikan pelakunya selalu dalam kemiskinan atau merasa demikian sehingga tidak pernah merasa cukup dengan apa yang diterimanya.
  • Akan menghilangkan kehormatan pelakunya dan jatuh martabatnya baik di hadapan Allah maupun sesama manusia.
  • Tumbuhnya sifat liar di hati pezina, sehingga pandangan matanya liar dan tidak terarah.
  • Pezina akan dipandang oleh manusia dengan pandangan muak dan tidak dipercaya.
  • Zina mengeluarkan bau busuk yang mampu dideteksi oleh orang-orang yang memiliki hati yang bersih melalui mulut atau badannya.
  • Kesempitan hati dan dada selalu dirasakan para pezina. Apa yang dia dapatkan dalam kehidupan adalah kebalikan dari apa yang diinginkannya. Dikarenakan orang yang mencari kenikmatan hidup dengan cara yang melanggar perintah Allah, maka Allah akan memberikan yang sebaliknya dari apa yang dia inginkan, dan Allah tidak menjadikan larangannya sebagai jalan untuk mendapatkan kebaikan dan kebahagiaan.
  • Pezina telah mengharamkan dirinya untuk mendapat bidadari di dunia maupun di akhirat.
  • Perzinaan menjadikan terputusnya hubungan persaudaraan, durhaka kepada orang tua, pekerjaan haram, berbuat zalim, serta menyia-nyiakan keluarga dan keturunan. Bahkan dapat terciptanya pertumpahan darah dan sihir serta dosa-dosa besar yang lain. Zina biasanya berkait dengan dosa dan maksiat yang lain, sehingga pelakunya akan melakukan dosa-dosa yang lainnya.
  • Zina menghilangkan harga diri pelakunya dan merusak masa depannya, sehingga membebani kehinaan yang berkepanjangan kepada pezina dan kepada seluruh keluarganya.
  • Kehinaan yang melekat kepada pelaku zina lebih membekas dan mendalam daripada kekafiran. Kafir yang memeluk Islam, maka selesai persoalannya, namun dosa zina akan benar-benar membekas dalam jiwa. Walaupun pelaku zina telah bertaubat dan membersihkan diri, pezina masih merasa berbeda dengan orang yang tidak pernah melakukannya.
  • Jika wanita hamil dari hasil perzinaan, maka untuk menutupi aibnya ia mengugurkan kandungannya. Selain telah berzina, pezina juga telah membunuh jiwa yang tidak berdosa. Jika pezina adalah seorang perempuan yang telah bersuami dan melakukan perselingkuhan sehingga hamil dan membiarkan anak itu lahir, maka pezina telah memasukkan orang asing dalam keluarganya dan keluarga suaminya sehingga anak itu mendapat hak warisan mereka tanpa disadari siapa dia sebenarnya.
  • Perzinaan akan melahirkan generasi yang tidak memiliki silsilah kekeluargaan menurut hubungan darah (nasab). Di mata masyarakat mereka tidak memiliki status sosial yang jelas.
  • Pezina laki-laki bermakna bahwa telah menodai kesucian dan kehormatan wanita.
  • Zina dapat menimbulkan permusuhan dan menyalakan api dendam pada keluarga wanita dengan lelaki yang telah berzina dengan wanita dari keluarga tersebut.
  • Perzinaan sangat mempengaruhi jiwa keluarga pezina, mereka akan merasa jatuh martabat di mata masyarakat, sehingga mereka tidak berani untuk mengangkat wajah di hadapan orang lain.
  • Perzinaan menyebabkan menularnya penyakit-penyakit berbahaya seperti AIDS, sifillis, kencing nanah dan penyakit-penyakit lainnya yang ditularkan melalui hubungan seksual.
  • Perzinaan adalah penyebab bencana kepada manusia, mereka semua akan dimusnahkan oleh Allah akibat dosa zina yang menjadi tradisi dan dilakukan secara terang-terangan.
Demikianlah pembahasan tentang Hukum Berzina Dalam Islam. Semoga Allah SWT senantiasa menjauhkan kita dari perbuatan keji tersebut. Aamiin….

sumber : http://muhsyafiqhan.wordpress.com/2012/12/26/hukum-berzina-dalam-islam/

Rahasia Panjang Umur dengan Sunnah Rasul






Seorang ulama besar hadits dan fiqih madzhab Hanafi, imam Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad bin Musa Al-Hanafi atau lebih popular dengan nama panggilan al-hafizh Badruddin Al-’Aini (wafat tahun 855 H) menyebutkan sebuah hadits yang sungguh-sungguh membuat jantung kita hampir copot.
Beliau mengutip dari al-hafizh Abu Musa Al-Madini dalam kitabnya, At-Targhib wa At-Tarhib, sebuah hadits yang sangat mencengangkan. Hadits tersebut adalah hadits dari Abdurrahman bin Samurah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alahi wa salam bersabda:
إِنِّي رَأَيْتُ اْلبَارِحَةَ عَجَبًا، رَأَيْتُ رَجُلاً مِنْ أُمَّتِي أَتَاهُ مَلَكُ الْمَوْتِ، عَلَيْهِ السَّلَامُ، لِيَقْبِضَ رُوحَهُ فَجَاءَهُ بِرُّ وَالِدِهِ فَرَدَّ مَلَكَ الْمَوْتِ عَنْهُ
“Sesungguhnya tadi malam aku bermimpi dengan sebuah mimpi yang mengherankan. Dalam mimpiku, aku melihat seorang laki-laki dari umatku didatangi oleh malaikat maut ‘alaihis salam untuk mencabut nyawanya. Tiba-tiba datanglah amalan berbakti kepada ayahnya lalu menolak malaikat maut dari orang tersebut.” Al-hafizh Abu Musa Al-Madini mengatakan, “Hadits ini sangat hasan.” (Badruddin Al-’Aini, ‘Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari, 11/181)

Subhanallah, masya Allah, Allahu akbar…
Sedemikian dahsyatkah amalan berbakti kepada kedua orang tua sehingga sampai mampu menolak datangnya kematian, jika hadits di atas benar-benar hasan dan bisa dijadikan hujjah?
Barangkali akan sangat sulit bagi kita untuk memahami makna hadits di atas. Terlebih ayat-ayat Al-Qur’an secara tegas telah menyatakan bahwa kematian adalah ketetapan Allah Ta’ala yang telah pasti. Jika kematian telah datang niscaya ia tidak bisa diundurkan ataupun diajukan, walau hanya sedetik saja. Kematian adalah makhluk yang sangat on time.
Jika kita membaca hadits-hadits shahih lainnya yang jumlahnya sangat banyak dan satu sama lain saling menguatkan, kemudian kita kaji penjelasan para ulama Islam terhadap hadits-hadits tersebut, barangkali keterkejutan kita terhadap hadits Abdurrahman bin Samurah radhiyallahu ‘anhu di atas akan sirna. Setidaknya, sedikit banyak akan berkurang.
Dari sekian banyak hadits shahih yang satu sama lainnya saling menguatkan tersebut, mari kita ambil contoh dua hadits saja, semoga bisa membantu kita dalam memahami maksud dari hadits Abdurrahman bin Samurah radhiyallahu ‘anhu di atas.

Hadits pertama

Dari Abu Hurairah Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
«مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ»
“Barangsiapa senang apabila dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali kekerabatannya!” (HR. Bukhari no. 5985)

Hadits kedua

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihiwa salam telah bersabda:
«مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ، وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ»
“Barangsiapa senang apabila dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali kekerabatannya!” (HR. Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557)
Arti kata-kata sulit:
An Yubsatha : Diluaskan atau dilapangkan.
An Yunsa-a   : Diakhirkan atau ditunda.
Atsarihi       : Makna asalnya secara bahasa adalah bekasnya atau jejaknya. Adapun dalam hadits di atas maksudnya adalah ajal atau umurnya. Ajal seseorang disebut atsar atau bekas dan jejaknya, karena ia mengikuti umur seseorang.

Penjelasan makna hadits

Kedua hadits shahih di atas menjelaskan bahwa rizki seseorang bisa ditambah dan kematian seseorang bisa ditunda jika ia menyambung tali silaturahmi.
Sebagaimana telah diketahui bersama, rizki dan usia seseorang telah ditentukan oleh Allah. Secara khusus, Allah berfirman tentang usia dan kematian hamba-Nya,
فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
“Maka jika kematian mereka telah tiba niscaya mereka tidak bisa menundanya walau sesaat dan tidak pula mereka bisa menyegerakannya.” (QS. Al-A’raf [7]: 34)
Lahiriah hadits-hadits tentang “penambahan usia” atau “penundaan kematian” di atas bertentangan dengan lahiriah ayat di atas. Sebenarnya antara ayat tersebut dan hadits-hadits di atas tidak ada perbedaan. Sebab, makna dari semua dalil tersebut masih bisa dipadukan.
Para ulama mencoba untuk memberikan beberapa penjelasan yang memudahkan kita untuk memahami maksud dari “ditunda kematiannya” atau “ditambahkan umurnya” dalam kedua hadits di atas.
Imam Yahya bin Syaraf An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, Badruddin Al-’Aini dalam Umdatul Qari Syarh Shahih Bukhari dan al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari menjelaskan bahwa kedua hadits di atas memiliki dua kemungkinan makna yang paling kuat, yaitu makna hakekat dan makna kiasan.

Makna pertama: Makna kiasan dan aspek kwalitas

Tambahan umur dalam kedua hadits ini merupakan bahasa kiasan untuk tercapainya keberkahan pada umur, karena ia mendapat taufiq dari Allah untuk melaksanakan ketaatan, mengisi waktunya dengan hal-hal yang membawa manfaat di akhirat dan menjaga dirinya dari menyia-nyiakan waktunya dengan hal-hal yang tidak membawa manfaat di akhirat.
Di antara contoh pengertian ini adalah hadits yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam merasa umur umat beliau terlalu pendek bila dibandingkan dengan umur umat-umat terdahulu. Maka Allah mengaruniakan kepada beliau malam lailatul qadar.
Dalam lailatul qadar, seorang hamba beramal shalih dalam satu malam namun mendapatkan pahala yang lebih baik dan lebih banyak dari amalan selama seribu bulan (83 tahun 4 bulan) yang tidak ada lailatul qadarnya. Itulah pengertian umurnya dipanjangkan, yaitu seakan-aan dipanjangkan selama 83 tahun lebih. Satu malam nilai keberkahannya bahkan melebihi keberkahan umur selama 83 tahun lebih.
Intinya, menyambung tali kekerabatan menjadi sebab mendapat taufik untuk melaksanakan amal-amal ketaatan dan melindungi diri dari perbuatan-perbuatan maksiat. Dengan demikian saat ia meninggal, ia meninggalkan nama yang harum dan pujian yang baik. Pada saat itulah ia seakan-akan belum mati, meskipun jasadnya sudah mati. Ia seakan-akan belum mati karena masyarakat masih senantiasa mengenang keshalihan amalnya dan kemuliaan akhlaknya.
Di antara bentuk taufik yang Allah karuniakan kepada seorang hamba sehingga seakan-akan menambah umurnya adalah tiga amal kebaikan yang disabdakan oleh baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika manusia telah meninggal maka amalannya terputus kecuali tiga amalan; sedekah yang terus mengalir, ilmu yang diambil manfaatnya dan anak shalih yang mendoakan kebaikan baginya.” (HR. Muslim no. 1631, Tirmidzi no. 1376, Ahmad no. 8844 dan Ad-Darimi no. 559)

Makna kedua: Makna hakekat dan aspek kwantitas

Tambahan usia dalam hadits tersebut memiliki makna hakekat, yaitu terjadinya penambahan usia yang sebenarnya, bukan sekedar bahasa kiasan. Penambahan usia ini di sini adalah menurut pandangan malaikat yang mendapat tugas untuk mencatat usia makhluk. Adapun menurut ilmu Allah sebenarnya usia makhluk tersebut tidak mengalami penambahan sedikit pun.
Misalnya, Allah Ta’ala berfirman kepada malaikat pencatat usia manusia: “Umur si fulan adalah 100 tahun jika ia menyambung tali kekerabatannya, dan 60 tahun jika ia tidak menyambung tali kekerabatannya.” Sementara itu Allah dengan ilmu-Nya yang azali telah mengetahui apakah si fulan tersebut akan menyambung tali kekerabatannya ataukah ia akan memutusnya.
Jadi, menurut ilmu azali yang dimiliki oleh Allah Ta’ala, umur si fulan tersebut tidak bertambah dan tidak berkurang sedikit pun. Adapun menurut ilmu yang dimiliki oleh malaikat pencatat usia manusia, umur si fulan tersebut bisa bertambah atau berkurang.
Pengertian ini telah diisyaratkan oleh firman Allah Ta’ala:
يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
“Allah menghapus apa yang dikehendaki-Nya dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya dan di sisi-Nya terdapat ummul kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS. Ar-Ra’du [13]: 39)
Ilmu yang dimiliki oleh malaikat itulah yang bisa mengalami penghapusan atau penetapan sesuai kehendak Allah. Adapun ilmu dalam ummul kitab atau Lauh Mahfuzh adalah ilmu Allah yang tidak mengalami penghapusan sama sekali. Ia bersifat tetap dan berlaku sejak seluruh alam ini diciptakan oleh Allah sampai Allah mewarisinya kembali. (Syarh Shahih Muslim, 16/114, ‘Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari, 22/91 dan Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, 10/416)
Imam Ath-Thibi, Az-Zamakhsyari, qadhi ‘Iyadh bin Musa Al-Yahshibi dan Ibnu Hajar Al-Asqalani cenderung menguatkan kemungkinan makna yang pertama.

Makna ketiga

Al-hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan kemungkinan makna ketiga dari kedua hadits di atas. Makna tersebut seperti disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Ash-Shaghir dengan sanad yang lemah dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu bahwasanya:
ذُكِرَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ وَصَلَ رَحِمَهُ أُنْسِيءَ لَهُ فِي أَجَلِهِ فَقَالَ إِنَّهُ لَيْسَ زِيَادَةً فِي عُمُرِهِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ الْآيَةَ وَلَكِنَّ الرَّجُلَ تَكُونُ لَهُ الذُّرِّيَّةُ الصَّالِحَةُ يَدْعُونَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ
“Disebutkan di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bahwa barangsiapa menyambung tali kekerabatannya, niscaya akan dipanjangkan umurnya. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Maksudnya bukanlah tambahan pada umurnya, karena Allah telah berfirman: “Jika ajal mereka telah datang kepada mereka, maka mereka tidak bisa memundurkannya walau sesaat dan tidak pula mereka mampu menyegerakannya.”
Akan tetapi maksudnya adalah seseorang memiliki anak-anak keturunan yang shalih, yang mau mendoakan dirinya setelah ia meninggal.”
Dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, imam Ath-Thabarani juga meriwayatkan dari hadits Abu Musyajji’ah Al-Juhani bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
إِنَّ اللَّهَ لَا يُؤَخِّرُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا وَإِنَّمَا زِيَادَةُ الْعُمُرِ ذُرِّيَّةٌ صَالِحَةٌ
“Sesungguhnya Allah tidak akan menunda usia seorang pun jika kematian telah datang kepadanya. Akan tetapi yang dimaksud dari penambahan usia adalah anak keturunan yang shalih.” (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, 10/416)

Makna keempat

Al-hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa menurut imam Al-Furak, yang dimaksud dengan penambahan umur dalam hadits-hadits di atas adalah Allah Ta’ala akan menyingkirkan berbagai macam musibah yang mengancam pemahaman dan akal orang yang melakukan amal kebajikan (yaitu menyambung tali kekerabatan).
Sebagian ulama lainnya menyatakan berbagai macam musibah yang disingkirkan tersebut bersifat umum, tidak sebatas musibah yang mengancam pemahaman dan akal pikiran orang yang melakukan amal kebajikan. Selain itu, ia juga bermakna turunnya keberkahan atas rizkinya, ilmunya dan hal-hal lainnya. (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, 10/416)

Makna kelima dan makna–makna lainnya

Imam Ibnu Al-Jauzi Al-Hambali juga menyebutkan sedikitnya lima makna dari hadits-hadits di atas:
Pertama, yang dimaksud dengan penambahan umur adalah dilapangkannya rizki dan dikarunikannya kesehatan badan. Sebab (dalam tradisi bahasa Arab, pent), kekayaan (kecukupan harta) disebut kehidupan, sedangkan kemiskinan disebut kematian.
Kedua, usia seorang hamba —misalnya— ditetapkan oleh Allah 100 tahun dengan masa penyucian jiwa dan amal-amal kebaikan sampai usia 80 tahun. Jika ia telah mencapai usia 80 tahun, maka Allah menambahkan masa-masa beramal kebaikan sehingga ia masih hidup sampai 20 tahun berikutnya. Makna pertama dan kedua ini disebutkan oleh imam Ibnu Qutaibah.
Ketiga, penundaan kematian dan penambahan umur ini pada dasarnya telah selesai dicatat oleh Allah, namun Allah mengaitkan hal itu dengan adanya amalan menyambung tali kekerabatan. Seakan-akan Allah telah menetapkan bahwa usia fulan 50 tahun, lalu jika ia menyambung tali kekerabatannya niscaya ia akan berusia 60 tahun (mendapat tambahan usia 10 tahun, pent).
Keempat, penambahan usia ini berada dalam catatan yang tertulis (yang dicatat dan dibawa oleh malaikat), namun catatan tertuis tersebut tidak mesti sama dengan ilmu yang diketahui oleh Allah Ta’ala. Ilmu Allah tentang akhir dari usia seorang hamba tidak pernah berubah, namun apa yang dicatat oleh malaikatnya terkadang bisa dihapus dan terkadang dipertahankan sebagaimana adanya tanpa perubahan. Sebagaimana firman Allah:
يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
“Allah menghapus apa yang dikehendaki-Nya dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya dan di sisi-Nya terdapat ummul kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS. Ar-Ra’du [13]: 39)
Kelima, penambahan umur adalah dengan diberkahinya umur tersebut dan orangnya diberi taufik untuk mengerjakan amal-amal kebaikan dan mencapai hal-hal yang ia cita-citakan. Dengan demikian, meski usianya pendek namun ia bisa menggapai hal-hal yang baru bisa digapai oleh orang-orang yang usianya panjang.”
Imam Ibnul Jauzi Al-Hambali kemudian menulis:
“Menurut qadhi Iyadh, maksudnya adalah nama seseorang tetap disebut-sebut oleh lisan masyarakat dengan baik setelah ia meninggal, sehingga seakan-akan ia belum meninggal. Adapun imam Al-Hakim At-Tirmidzi menyebutkan bahwa maknanya adalah ia akan tinggal sebentar saja dalam alam kubur.” (‘Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari, 11/181-182)

Pengertian dari menyambung tali kekerabatan

Apakah yang dimaksud dengan tali kekerabatan itu? Para ulama berbeda pendapat tentang hal itu:
  1. Sebagian ulama menyatakan tali kekerabatan adalah setiap orang yang memiliki hubungan darah dan tidak boleh dinikahi.
  2. Sebagian ulama lainnya menyatakan tali kekerabatan adalah setiap orang yang bisa menjadi ahli waris.
  3. Sebagian ulama lainnya menyatakan tali kekerabatan adalah setiap kerabat, baik orang yang tidak bisa dinikahi maupun orang yang bisa dinikahi.
Adapun tentang pengertian dari menyambung tali kekerabatan, imam Badruddin Al-’Aini berkata: “Menyambung tali kekerabatan adalah dengan melakukan amal-amal kebaikan kepada kaum kerabat. Terkadang dilakukan dengan memberikan bantuan harta, terkadang dengan melayani keperluannya, terkadang dengan mengunjunginya dan lain sebagainya.”
Qadhi Iyadh bin Musa Al-Yahshibi menjelaskan: “Tidak ada perbedaan pendapat lagi bahwasanya menyambung tali kekerabatan secara umum hukumnya wajib dan memutuskan tali kekerabatan adalah perbuatan dosa besar. Hadits-hadits menegaskan hal ini.
Namun, menyambung tali kekerabatan itu bertingkat-tingkat, sebagiannya lebih tinggi dari sebagian lainnya. Tingkatan menyambung tali kekerabatan yang paling rendah adalah tidak mendiamkannya dan mengajaknya berbicara, walau sekedar mengucapkan salam kepadanya.
Menyambung tali kekerabatan itu berbeda-beda sesuai dengan kadar kemampuan dan kebutuhan. Ada sebagian menyambung tali kekerabatan yang hukumnya wajib dan ada pula sebagian menyambung tali kekerabatan yang hukumnya sunah.
Seandainya ia melakukan sebagian bentuk menyambung tali kekerabatan namun tidak sampai pada bentuk menyambung tali kekerabatan yang paling tinggi tingkatnya, maka ia tidak disebut orang yang memutus tali kekerabatan.”(‘Umdatul Qari Syarh Shahih Al-Bukhari, 11/181)
Wallahu a’lam bish-shawab

Kenapa Allah Mengharamkan Minuman Keras




Minum minuman keras dalam Islam jelas Haram hukumnya akan tetapi sampai seberapa pengaruhnya terhadap diri sendiri maupun lingkungannya sehingga Islam mengharamkannya, Cobalah simak cerita berikut yang pernah saya sampaikan pada blog ini juga sebagai  jawaban bagi pembaca blog yang bertanya kepada saya.
“KISAH BARSAH ORANG ALIM YANG KAFIR KARENA MINUMAN KERAS”
Dalam kitab Durratun Nasihin diceritakan :
Ada orang yang sangat alim yang sangat terkenal kealimannya kalau tidak salah namanya Barsah (jika salah mohon koreksi karena kisah itu saya baca 12 tahun yll), saking alimnya doa Barsah selalu dipenuhi Allah sehingga banyak orang yang mendatangi untuk berguru maupun meminta tolong kepadanya bahkan malaikatpun sampai heran akan kealiman Barsah akan tetapi Allah berfirman pada malaikat : orang itu (Barsah) akan kafir karena minum minuman keras. Hal tsb rupanya didengar oleh salah satu setan yang mencuri dengar berita di langit sehingga berita ini tidak disia-siakan oleh setan dan setanpun mendatangi Barsah untuk dicelakakan.
Singkat cerita, Setanpun mendatangi rumah Barsah dengan menyamar sebagai Tamu yang ingin beribadah bersama Barsah. Barsah sangat heran karena tamu (Setan) itu beribadah secara terus menerus siang malam tanpa henti tidak makan, tidak minum, tidak tidur bahkan selalu menangis dalam ibadahnya. Barsahpun bertanya kepada Tamu itu tentang ibadah tamunya tsb dan tamu (setan) itu menjawab jika ingin beribadah seperti dirinya ya harus berbuat dosa dulu meskipun kecil agar dapat menikmati ibadah dengan khusuk dan nikmat, Tamu itu menipu bahwa dirinya menangis dan beribadah terus menerus karena takut kepada Allah atas dosanya sehingga ia dapat khusuk beribadah.
Barsahpun ingin meniru, tamu itu menyarankan agar Barsah berbuat dosa, tapi barsah tidak setuj, dari berbagai macam dosa yang ditawarkan setan, Barsah akhirnya setuju dengan dosa kecil yaitu : ” minum sedikit minuman keras ”karena Barsah berpikir minum sedikit minuman keras paling hanya dosa kecil dan tidak membahayakan diri sendiri maupun orang lain.
Atas saran tamu itu agar tidak diketahui orang Barsahpun pergi membeli minuman keras diujung kota pada malam hari dengan menyamar. Kebetetulan yang menjual minuman keras adalah suami isteri tapi saat itu suaminya sedang pergi. Barsahpun membeli minuman keras dan meminumnya, karena Barsah tidak pernah minum minuman keras meskipun tidak banyak Barsah pun mabuk, saat mabuk setanpun membawa teman-temanya untuk mempengaruhi Barsah dan wanita bersuami untuk bertingkah laku yang merangsang Barsah, karena mabuk Barsahpun mejadi kehilangan akal sehingga mudah tergoda setan  dan dalam keadaan mabuk menzinahi wanita tersebut.
Setengah sadar dalam pengaruh minuman keras Barsah kaget dan bingung karena telah menzinahi wanita bersuami itu dan Barsah bingung karena tahu akibatnya dirinya akan dirajam penduduk kota jika diketahui menzinahi wanita itu.
Didalam kebingungannya setanpun berbisik dalam hatinya agar Barsah membunuh wanita itu daripada wanita itu hidup akan melapor pada suaminya bahwa yang mezinahi dirinya adalah Barsah yang sangat terkenal itu. Barsahpun akhirnya terbujuk untuk membunuh dan mengubur wanita itu dibelakang warung wanita itu pada malam itu juga dan paginya Barsah pulang ke rumahnya.
Setanpun tidak tinggal diam dengan kelicikannya dia memberitahu suami dari wanita itu bahwa dirinya tahu dan bisa menjadi saksi jika Barsah telah memerkosa, membunuh dan mengubur isteri dari penjual minuman keras itu, Pagi itu juga Suami dari wanita yang diperkosa Barsah mengumpulkan penduduk kota untuk membongkar tanah dibelakang warung itu, dan ternyata benar isteri nya dikubur disitu akhirnya siang itu juga Barsahpun ditangkap beramai-ramai oleh suami dan penduduk kota untuk dirajam.
Siang itu Barsah dirajam , saat dirajam Barsahpun sadar jika dirinya telah melakukan kesalahan besar telah memerkosa dan membunuh isteri penjual minuman keras itu. Saat Barzah dirajam Setan datang dan menawari pertolongan pada Barsah terjadilah dialog berikut:
Setan : “Hai Barzah bagaimana keaadaanmu sekarang dan siapa yang dapat menolongmu sekarang”?
Barzah : “Sungguh setan celaka, kamu telah menjerumuskan aku sehingga aku menjadi seperti ini”.
Setan : “Betul aku ini setan tapi saat ini tidak ada yang dapat menolongmu kecuali aku, hanya aku yang dapat membebaskanmu dalam sekejab membawamu dari sini dan kamu akan dapat beribadah lagi seperti sebelumnya” “ kuberitahu Tuhanmu tidak akan menolongmu karena dosamu sungguh sangat besar. Hanya aku yang dapat segera menolongmu cukup sujudlah padaku pasti aku segera menolongmu”.
Barzah sudah tidak tahan dengan banyaknya batu yang dilemparkan kepadanya dan putus asa karena akan segera menghadapi kematian didepan mata oleh karena itu mendengar tawaran setan Barsahpun menerimanya.
Barzah : Bagaimana aku dapat minta sujud padamu sedangkan badanku terikat kuat dengan tiang dan tali ini.
Setan : Cukup anggukkan kepalamu dan pejamkan matamu untuk sujud kepadaku, aku pasti menolongmu.
Barsah : Baiklah…….
Barsahpun memejamkan matanya dan menundukkan kepala untuk bersujud kepada Setan, Saat itu juga Allah SWT mencabut nyawa Barsah sehingga Barsahpun meninggal dalam keadaan Kafir….
Naudzubillahimindzalik
Hikmah dari cerita diatas:
Jangan menganggap enteng minum minuman keras karena siapapun yang minum minuman keras itu baik banyak maupun sedikit jika saat itu Allah berkehendak, sewaktu waktu Allah dapat mengambil nyawa orang tersebut. Nisacaya tidak akan pernah masuk surga orang dalam keadaan demikian apalagi orang tersebut belum bertobat.
Jika seseorang minum minuman keras, zat yang memabukkan dalam minuman keras itu ada dalam darah dan baru hilang setelah 40 hari artinya sejak minum sampai 40 hari kedepan orang itu dalam keadaan kafir dan akan masuk neraka jika mati pada saat itu kecuali orang tersebut bertobat sebelum mati. Hal ini dapat dimengerti karena minuman keras itu masih ada dalam darah orang tersebut sampai 40 hari lamanya juga diterangkan dalam Hadist Nabi SAW yaitu:
Dari Ibnu Umar ra. berkata, Siapa yang meminum khamar meski tidak sampai mabuk, tidak diterima shalatnya selagi masih ada tersisa di mulutnya atau tenggorokannya. Apabila dia mati maka dia mati dalam keadaan kafir. Bila sampai mabuk, maka tidak diterima shalatnya 40 malam. Dan bila dia mati maka matinya kafir.(HR An Nasai)
Dari Abdullah bin Amr berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, Orang yang minum khamar lalu mabuk, tidak diterima shalatnya 40 hari. Bila dia mati masuk neraka. Bila dia taubat, maka Allah akan mengampuninya. Namun bila kembali minum khamar dan mabuk, tidak diterima shalatnya 40 hari. Bila mati masuk neraka. Bila dia kembali minum, maka hak Allah untuk memberinya minum dari Radghatul Khabal di hari kiamat. Para shahabat bertanya, Ya Rasulallah, apakah Radaghatul khabal? Beliau menjawab, Perasan penduduk neraka.(HR Ibnu Majah)
Hadis riwayat Ibnu Umar ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Setiap minuman yang memabukkan adalah khamar dan setiap yang memabukkan adalah haram. Barang siapa minum khamar di dunia lalu ia mati dalam keadaan masih tetap meminumnya (kecanduan) dan tidak bertobat, maka ia tidak akan dapat meminumnya di akhirat (di surga).  (Shahih Muslim No.3733)
Sumber: http://fath102.wordpress.com/2011/04/20/hukum-minuman-keras-dalam-islam/