Ketika para ulama salaf ditanya tentang kaiffiyah istiwa (cara Allah
bersemayam) mereka menjawab: "Istiwa (bersemayam) Allah itu sudah
dipahami, sedangkan cara-caranya tidak diketahui; mengimaninya (istiwa)
adalah wajib dan bertanya tentangnya adalah bid'ah." Jadi, kaum salaf
sepakat bahwa kaiffiyah istiwa itu tidak diketahui oleh manusia dan
bertanya tentang hal itu adalah bid'ah. Karena hal itu tidak dilakukan
oleh para salaf di zamannya.
Jika ada orang yang bertanya, "Bagaimana cara Allah turun ke langit
dunia?" Maka tanyakanlah kepadanya, "Bagaimanakah DIA?" Jika dia
mengatakan, "Saya tidak tahu kaiffiyah (kondisi)-Nya." Maka jawablah,
"Maka dari itu kita tidak mengetahui kaiffiyah turun-Nya. Sebab untuk
mengetahui kaiffiyah sifat harus terlebih dahulu mengetahui kaiffiyah dzat
yang disifati itu." Karena sifat itu adalah cabang dan mengikuti yang
disifatinya. Begitu juga ketika kita ingin menanyakan sifat keberadaan
Allah. Kita harus tahu kondisi Allah. Jadi bagaiman mungkin kita
menjelaskan cara Allah mendengar, melihat, berbicara, bersemayam, turun,
padahal kita tidak mengetahui bagaimana kaifiyyah dzat-Nya?
Satu-satunya yang bisa menjelaskan keberadaan Allah, hanyalah Allah
subhanahu wata'ala sendiri. Dan Allah sendiri telah menjawab pertanyaan
ini lewat nash-nash dalam Alqur'an atau As Sunnah. Keterangan dari
keduanya itulah yang sebenarnya bisa diterima dan diakui dalam aqidah
Islam, jauh dari konsep pemikiran akal manusia. Sebab jawaban kita hanya
semata-mata dari keterangan Allah Subhanahu Wata`ala sendiri yang secara
formal telah memperkenalkan diri-Nya kepada kita.
1. Allah Berada di Atas Arsy
Keterangan dari Allah ini dapat kita temukan pada ayat-ayat-Nya di bawah
ini:
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy . Dia menutupkan malam
kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan matahari, bulan dan
bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan
memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.(QS.
Al-Araf : 54)
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam
enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy untuk mengatur segala
urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa'at kecuali sesudah ada
izin-Nya. yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia.Maka
apakah kamu tidak mengambil pelajaran? (QS. Yunus : 3)
Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang yang kamu lihat, kemudian
Dia bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan.
Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan
, menjelaskan tanda-tanda , supaya kamu meyakini pertemuan dengan Tuhanmu.
(QS. Ar-Ra’d : 2)
Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy .(QS. Thaha : 5)
Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam
enam masa, kemudian dia bersemayam di atas Arsy , Yang Maha Pemurah, maka
tanyakanlah kepada yang lebih mengetahui tentang Dia. (QS. Al-Furqan : 59)
Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara
keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy . Tidak
ada bagi kamu selain dari padaNya seorang penolongpun dan tidak seorang
pemberi syafa'at. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?(QS. As-Sajdah : 4)
Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia
bersemayam di atas 'arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan
apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang
naik kepada-Nya . Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-Hadid : 4)
Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu
delapan orang malaikat menjunjung 'Arsy Tuhanmu di atas (kepala) mereka.
(QS. Al Haaqqah: 17)
2. Allah Berada di Langit
“Tidakkah kamu merasa aman dari Allah yang berada DI LANGIT bahwa Dia akan
menjungkir-balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu
berguncang. Atau apakah merasa aman terhadap Allah yang DI LANGIT bahwa
Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui
bagaimana (akibat) mendustakan peringatan-Ku”. ( QS Al-Mulk : 16-17).
Selain itu ada hadits dari Rasulullah SAW yang juga menjelaskan tentang di
manakah Allah SWT itu .
Dari Abdullah bin Amr bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Kasihanilah yang di
bumi maka kamu akan dikasihani oleh YANG DI LANGIT". (HR. Tirmiziy).
Rasulullah bersabda: Tidakkah kalian mau percaya kepadaku padahal aku
adalah kepercayaan dari Tuhan yang ada di langit. [Bukhari no.4351 kitabul
Maghazi; Muslim no.1064 Kitabuz Zakat]
Namun tentang bagaimana keberadaan Allah SWT di langit dan di asry, kita
tidak punya keterangan pasti. Maka kita imani keberadaannya sedangkan
teknisnya seperti apa, itu majhul atau tidak dapat diketahui karena
keterbatasaan panca indera serta keterbatasan akal manusia. Dan bertanya
tentang seperti apa teknisnya adalah bid’ah. Ini adalah jawaban paling
aman dan inilah yang diajarkan Imam Ahmad kepada kita.
3. Tentang Allah Dekat dan Ada di Mana-mana
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat
lehernya." (QS. Qaaf : 16)
Apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendo'a
apabila ia berdo'a kepada-Ku...(QS Al-Baqarah: 186).
Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa
yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hadid : 4)
Namun kata ma’a tidak berarti menunjukkan tempat seseorang berada. Sebab
dalam percakapan kita bisa mengatakan bahwa aku menyertaimu, meski pada
kenyataannya tidak berduaan. Sebab kebersamaan Allah SWT dalam ayat ini
adalah berbentuk muraqabah atau pengawasan.
Seperti ketika Rasulullah berkata pada Abu Bakar saat berada di dalam gua,
"Jangan kamu sedih, Allah beserta kita". Ini tidak berarti Allah SWT ikut
masuk gua. Tapi, lebih bermakna bahwa mereka berada dalam pengawasan
Allah. Jadi, keterangan yang mengatakan Allah ada di mana-mana bukan
merujuk pada tempat atau keberadaan-Nya, melainkan kebersamaan-Nya melalui
pengawasan serta rida-Nya bagi orang-orang yang teguh berada di jalan-Nya.
Perpaduan antara ma'iyah (kebersamaan) dan 'uluw (keberadaan di atas) bisa
terjadi pada makhluk. Seperti dikatakan: "Kami masih meneruskan perjalanan
dan rembulan pun bersama kami". Kalimat ini tidaklah dianggap
bertentangan, padahal sudah barang tentu bahwa orang yang melakukan
perjalanan itu berada di bumi sedangkan rembulan berada di langit. Apabila
hal ini bisa terjadi pada makhluk, maka bagaimana pikiran Anda dengan
Al-Khaliq yang meliputi segala sesuatu?
Apakah tidak bisa dikatakan bahwa Dia bersama Makhluk-Nya di samping Dia
Maha Tinggi berada di atas mereka, terpisah dari mereka, bersemayam di
atas 'arsy-Nya? (Kaidah-kaidah Utama..., hal. 156).
Syeikh 'Utsaimin menjelaskan tentang, ayat "...Dan Dia bersama kamu di
manapun kamu berada." (QS 57: 4), bahwasannya ma'iyah (kebersamaan) dalam
ayat ini sama sekali tidak menunjukkan pengertian Allah Subhanahu Wata'ala
bercampur dengan makhluk atau tinggal bersama di tempat mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al-'Aqidah Al-Waasithiyah (hal. 115,
cetakan ketiga, komentar Muhammad Khalil Al-Harras), mengatakan:
"Dan pengertian dari firman-Nya: 'Dan Dia bersama kamu', bukanlah berarti
bahwa Allah itu bercampur dengan makhluk-Nya karena hal ini tidak
dibenarkan oleh bahasa. Bahkan, bulan sebagai satu tanda dari tanda-tanda
(kemahatinggian dan kebesaran) Ilahi, yang termasuk di antara makhluk-Nya
yang terkecil dan terletak di langit itu, tetapi dia dikatakan bersama
musafir dan yang bukan musafir di mana saja berada padahal musafir
tentunya berada di bumi, terpisah dari bulan yang berada di langit)."
Menurut Syeikh 'Utsaimin: Tidak ada orang yang berpendapat dengan makna
bathil (Allah bercampur dengan makhluk atau tinggal bersama di tempat
mereka) ini kecuali Al-Hululiyah (Pantheisme) seperti orang-orang
terdahulu dari Jahmiyah dan mereka yang mengatakan bahwa Allah dengan
dzat-Nya berada di setiap tempat. Maha suci Allah dari perkataan mereka
dan amat besar dosanya atas ucapan yang keluar dari mulut mereka. Apa yang
mereka katakan tiada lain adalah kebatilan.
Perkataan mereka ini telah dibantah oleh para ulama Salaf dan imam yang
sempat menjumpainya, karena perkataan tersebut menimbulkan beberapa
konsekwensi yang tidak dapat dibenarkan yang menunjukkan bahwa Allah
mempunyai sifat-sifat kekurangan dan mengingkari keberadaan Allah di atas
makhluk-Nya.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Ibnu Umar membacakan ayat "Dan
kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di
situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha
Mengetahui". (QS. Al Baqarah: 115) kemudian menjelaskan peristiwanya
sebagai berikut. Ketika Rasulullah SAW dalam perjalanan dari Mekah ke
Madinah shalat sunnat di atas kendaraan menghadap sesuai dengan arah
tujuan kendaraannya. (Diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi dan Nasa'i yang
bersumber dari Ibnu Umar.)
Kalimat maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah maksudnya;
kekuasaan Allah meliputi seluruh alam; sebab itu di mana saja manusia
berada, Allah mengetahui perbuatannya, karena ia selalu berhadapan dengan
Allah.
Menurut Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan Allah ada di mana-mana adalah
bathil karena itu merupakan perkataan golongan bid'ah dari aliran Jahmiyah
dan Mu'tazilah serta aliran lain yang sejalan dengan mereka. Jawaban yang
benar adalah yang diikuti oleh Ahli Sunnah wal Jama'ah, yaitu Allah
subhanahu wa ta'ala ada di langit di atas Arsy, di atas semua makhlukNya.
Akan tetapi ilmu-Nya ada di mana-mana (meliputi segala sesuatu).
Bagaimana seseorang bisa mengatakan bahwa dzat Allah berada pada setiap
tempat, atau Allah bercampur dengan makhluk, padahal Allah SWT itu
"KursiNya meliputi langit dan bumi" (QS 2:255), dan "Bumi seluruhnya dalam
genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan
kanan-Nya" (QS 39:67)?
4. Tentang Allah Ada di Dalam Diri dan Hati Manusia
Dalam hadis qudsi (hadis yang maksudnya berasal dari Allah SWT, lafalnya
berasal dari Nabi SAW) disebutkan bahwa Allah SWT berfirman:
"Barang siapa memusuhi seseorang wali-Ku, maka Aku mengumumkan
permusuhan-Ku terhadapnya. Tidak ada sesuatu yang mendekatkan hamba-Ku
kepada-Ku yang lebih kusukai daripada pengamalan segala yang Kufardukan
atasnya. Kemudian, hamba-Ku yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku
dengan melaksanakan amal-amal sunnah, maka Aku senantiasa mencintainya.
Bila Aku telah cinta kepadanya, jadilah Aku pendengarannya yang dengannya
ia mendengar, Aku penglihatannya yang dengannya ia melihat, aku tangannya
yang dengannya ia memukul, dan Aku kakinya yang dengan itu ia berjalan.
Bila ia memohon kepada-Ku, Aku perkenankan permohonannya, jika ia meminta
perlindungan, ia Kulindungi." (HR. Bukhari).
Hadis ini sering digunakan sebagai dalil oleh para sufi untuk menunjukan
kebersatuan Allah dengan makhluk-Nya. Atau istilahnya, manunggaling kawula
Gusti. Ini jelas pendapat yang tidak benar. Bagaimana mungkin Dzat Allah
bercampur dengan Makhluk-Nya?
Firman Allah Ta'ala: "Bila Aku telah cinta kepadanya, jadilah Aku
pendengarannya yang dengannya ia mendengar, Aku penglihatannya yang
dengannya ia melihat, aku tangannya yang dengannya ia memukul, dan Aku
kakinya yang dengan itu ia berjalan. Bila ia memohon kepada-Ku, Aku
perkenankan permohonannya, jika ia meminta perlindungan, ia Kulindungi",
sesungguhnya memiliki makna bahwa Allah membenarkannya, menjaganya
mengenai pendengarannya, penglihatannya, tangannya, dan kakinya, maka ia
tidak menggunakan anggota-anggota badannya ini untuk bermaksiat, dan ia
hanya menggunakannya dalam ketaatan pada Allah Azza wa Jalla.
Ibnu Daqiq Al-Ied berkata: "Arti firman Allah itu bahwa ia (yang dicintai
Allah ini) tidak mendengarkan apa yang tidak diizinkan Allah baginya untuk
mendengarnya, dan tidak melihat sesuatu yang tidak diizinkan Allah untuk
melihatnya, dan tidak mengulurkan tangannya kepada sesuatu yang tidak
diizinkan Allah untuk menjangkaunya, dan tidak berjalan kecuali kepada hal
yang diizinkan Allah baginya untuk menuju padanya..." selesailah artinya
itu, dan tafsiran itu ditunjukkan pula oleh firmaNya dalam akhir hadits
Qudsi tersebut: Bila ia memohon kepada-Ku, Aku perkenankan permohonannya,
jika ia meminta perlindungan, ia Kulindungi." Artinya, Allah Ta'ala
menyertainya dengan menyetujuinya, menolongnya, dan menjaga
anggota-anggota badannya dari segala larangan, karena balasan itu adalah
setimpal dengan perbuatan.
Dengan penjelasan-penjelasan di atas, maka terbantahlah pendapat yang
mengatakan bahwa Allah bersemayam dalam hati dan diri manusia.
5. Tentang Allah Seperti Udara, Angin, Cinta, dll
Nu'aim bin Hammad, guru Imam Al Bukhari mengatakan, "Barang siapa
menyamakan Allah dengan makhluk, maka ia kafir. Barang siapa menolak sifat
Allah yang disandangkan-Nya untuk Diri-Nya atau disandangkan oleh
Rasul-Nya maka ia kafir. Dan dalam sifat-sifat Allah yang disandangkan
oleh-Nya atau oleh Rasulullah saw. tidak ada kesamaan atau kemiripan
dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Sebagaimana firman Allah:
Tidak ada yang sama dengan-Nya sesuatu apapun (QS.Asy-Syuura: 11)
Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya (QS. Al-Ikhlas: 4)
Maka janganlah kalian membuat perumpamaan-perumpamaan bagi Allah (QS.
An-Nahl: 47).
Ketidaktahuan dalam masalah ini merupakan sesuatu yang masih dapat
dimaafkan. Demikian juga halnya dengan kekeliruan dan kesalahan dalam
memberikan penafsiran. Seandainya hal tersebut tidak dapat dimaafkan,
tentu apa yang dilakukan oleh para mutakallimin (teolog) yang menafsirkan
nash-nash yang menjelaskan sifat-sifat Allah dihukumi sebagai kekufuran.
Di mana mereka membawa nash-nash tersebut kepada pemahaman yang
majazi/kiasan (bukan arti yang sebenarnya), dan menganggap hal itu bukan
merupakan sesuatu yang tetap bagi Allah dalam pengertian yang sebenarnya.
Hal ini dikarenakan prasangka mereka yang mendorong mereka untuk
menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Dengan demikian, maka penolakan
mereka terhadap nash-nash yang berkaitan dengan masalah sifat-sifat Allah
ini didasarkan kepada keinginan untuk menyucikan Allah SWT dari
penyerupaan terhadap makhluk-Nya, menurut prasangka mereka. Dengan
demikian, maka dapat dipahami bahwa sebenarnya, mereka tidak bermaksud
menolak
atau mengingkari nash-nash tersebut dengan maksud ingin mendustakannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu berkata, "Imam Ahmad ra
menaruh belas kasihan kepada mereka (yakni, aliran Jahmiyyah) dan
memaafkan mereka. Karena, menurut pandangan beliau bahwa mereka itu tidak
mendustakan Rasulullah saw dan tidak mengingkari risalah (ajaran) yang
dibawanya. Akan tetapi, mereka keliru dalam memberikan penafsiran dan
mereka mengikuti pendapat orang yang mengatakan hal itu kepada mereka."
Manhaj dalam memahami nama dan sifat Allah yang disebutkan dalam Alqur'an
dan Sunnah tanpa melakukan:
1. Tasybih, yakni menyerupakan Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya;
2. Tahrif, yakni mengubah atau mengganti lafal-lafal nama dan sifat Allah.
Atau mengganti artinya;
3. Ta'thil (pengabaian, membuat tidak berfungsi)l, yakni menampik sifat
Allah dan menyangkal keberadaannya pada Dzat Allah Swt;
4. Takyif (mengondisikan), yakni menentukan kondisi dan menetapkan
esesi-Nya. Inilah mazhab para salaf—sahabat, tabi'in, serta tabi'ut
tabi'in.
Wallahu'alam bishshawab
sumber : http://idomoeslim.blogspot.com/2010/02/keberadaan-allah-menurut-al-quran-dan.html